3 Hal yang Bisa Diambil Barcelona Dari Laga El-Classico
Cules (julukan pendukung Barcelona) tentu ingat bagaimana tiki-taka
Blaugrana berjalan di era Pep Guardiola. Passing Pressure menjadi
kekuatan Barca untuk menggempur pertahanan lawan, perpindahan bola cepat
yang diselingi gerakan tanpa bola menjadi ciri khas mereka. Saat bola
lepas, pemain yang paling dekat langsung melakukan tekanan untuk menutup
ruang yang ditinggalkan. Pada pertandingan malam tadi, pendekatan
Barcelona dalam bertahan berbeda 180 derajat. Para pemain lebih banyak
turun ke daerahnya sendiri layaknya Catenaccio yang menjadi ciri khas
klub-klub Italia. Salah satu hal yang berhasil dimanfaatkan Toni Kross
dan Luka Modric untuk merancang serangan bagi los Blancos. Selain Tiki-Taka 'Aneh' milik Luis Enrique, berikut tiga hal lain yang bisa diperdebatkan oleh para Barcelonista.
Lini Pertahanan Kehilangan ‘Pemimpin’
Kehilangan
dua sosok senior, Carles Puyol dan Victor Valdes, dalam mengkomando
lini pertahanan Barca, menjadi cerita tersendiri di laga el classico
malam tadi. Teriakan membahana Valdes mengatur rekan-rekannya dari bawah
mistar gawang, serta kengototan Puyol dalam mengejar bola selama ini,
sudah tidak akan terlihat setelah keduanya memutuskan ‘pergi’ di akhir
musim lalu. Javier Mascherano yang diharapkan mampu menjadi ‘pemimpin’,
memerlukan waktu ‘lebih’ untuk menyesuaikan perannya kali ini. Hal ini
terlihat dari gol ketiga Madrid, saat dirinya dan Andres Iniesta
melakukan kesalahan komunikasi yang akhirnya memberikan ruang bagi James
mengirim umpan ke Benzema.
Luis Suarez Butuh Sekedar ‘Adaptasi’
Sosok
paling ditunggu Cules dalam beberapa bulan terakhir, akhirnya merasakan
debut pertamanya di pentas La Liga kala berhadapan dengan Real Madrid
di Santiago Barnabeu. Diawal laga, ekspresi puas terlihat dari senyum
penggemar Barcelona saat mantan punggawa Liverpool ini menjadi kreator
gol Neymar. Setelahnya, kekhawatiran loyalis Blaugrana terbukti benar,
kala penyerang ‘nakal’ ini tenggelam dalam permainan umpan pendek yang
dilakukan rekan-rekannya. Kebiasaannya menjadi pusat serangan Liverpool
musim lalu, harus ‘dirubah’ setelah bermukim di Spanyol. Barcelona
memiliki segudang pemain jempolan untuk memberikan servis sempurna dalam
mengoyak gawang lawan. Perbedaan peran yang signifikan membuatnya perlu
sekedar waktu untuk menyesuaikan diri dalam skema serangan Barcelona.
Era Xavi-Inesta Berakhir?
Menjadi
kunci Barcelona dan Spanyol dalam menciptakan strategi khas tiki-taka
selama 7 tahun terakhir, Xavi dan Iniesta terus ‘dimakan’ waktu untuk
mengulang memori indahnya. Memasuki masa senja sebagai pesepakbola,
keduanya terus dituntut bermain dengan level tertinggi di salah satu
kompetisi sepakbola terbaik di muka bumi. Tergerusnya peran Xavi dalam
beberapa bulan terakhir semakin terlihat di Piala Dunia lalu, dirinya
hanya sekali diturunkan oleh Vicente Del Bosque dari tiga laga yang
dilakoni Spanyol. Meski mendapatkan kehormatan meneruskan ban kapten
dari Puyol, diawal musim sang entrenador lebih mempercayai Ivan Rakitic
yang didatangkan dari Sevilla untuk menemani Iniesta di lini sentral.
Demikian halnya dengan Iniesta, peraih Golden Foot 2014 semakin
kehilangan sentuhan ‘ajaibnya’. Visi permainannya tidak terlihat dan
acapkali kehilangan bola saat mencoba menerobos tembok pemain yang
menjadi ciri khasnya selama ini. Blunder yang dilakukannya saat
memberikan umpan kepada Isco menjadi cerita pahit sebelum akhirnya
dirinya digantikan Sergio Roberto di menit-72 setelah mengalami cedera
akibat bertabrakan dengan Luka Modric.